Pada artikel yang lalu, saya sudah menceritakan gimana kalutnya saya waktu pindah dari Palembang ke Cilacap. Penggunaan bahasa yang terasa asing itu gak ada apa-apanya dibanding ingatan saya yang satu ini, tentang ujian (lebih tepatnya ulangan harian) bahasa Jawa pertama saya sebagai siswi SD di Cilacap.
Saya gak tau pelajaran bahasa Jawa itu diajarkan sejak kelas berapa, yang pasti murid SD kelas 6 diharapkan sudah mengerti bahwa bahasa Jawa memiliki huruf tersendiri yang disebut aksara Jawa, dan mereka dituntut sudah paham cara menggunakannya. Jadi, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba saya berada di kelas untuk ulangan bahasa Jawa, tentang aksara Jawa (hanacaraka) pula! Murid-murid diberi soal untuk mengubah 10 kalimat dalam huruf latin menjadi tulisan dalam aksara Jawa.
Aksara Jawa. Sumber: mascholik.files.wordpress.com |
Sebagai satu-satunya murid baru di kelas yang jumlah muridnya jadi ganjil, saya duduk sendirian, di pojok belakang kelas. Padahal, saat itu penglihatan saya mulai bermasalah (belakangan pas SMP baru diketahui bahwa saya menderita mata minus -langsung -2.5 cuy-). Pada ujian hari itu, sang guru masih berbaik hati memajang aksara hanacaraka di papan tulis, mungkin salah satu alasannya karena kasihan sama si anak baru yang gegar budaya ini (baca: saya *ngacung*). Namun, apa daya, dasar penglihatan saya yang udah rabun, aksara di depan itu gak ngefek sama sekali bagi saya.
Menit demi menit berlalu, dan gak satupun aksara saya tulis di lembar jawaban. Kalaupun saya berhasil baca aksara di papan tulis depan itu, saya toh gak ngerti cara penggunaannya. Sampai akhirnya di menit-menit terakhir jelang waktu ulangan berakhir, saya putuskan untuk nego sama teman yang duduk di depan saya.
"Qorry, Qorry..", panggilku sambil mencolek teman yang duduk di depanku.
"Aku gak ngertiii.. Bagi jawaban satuuuu aja", bisikku memohon.
Mungkin karena iba melihat kertas ulangan saya yang bersih bening seperti tanpa noda (isinya cuma nama, sama kelas.. *bhah*), dengan baik hati Qorry menunjukkan jawaban di kertas ulangan miliknya. Bukan cuma satu jawaban, malah satu lembar kertas jawaban miliknya dia tunjukkan. Tapi berhubung saya teman yang tahu diri (selain karena gak sempat -waktu mepet cuy-) saya hanya menyalin satu jawaban saja.
Pfft.. jadilah hari itu tercatat sebagai tonggak sejarah kegagalan saya sebagai siswa SD anti-nyontek dengan nilai gak pernah kurang dari 6 (skala 0-10), menjadi siswa SD pencontek dengan nilai terendah: 1. Seumur hidup saya, dari lahir sampai kelas 6 SD, ponten 1 itu benar-benar aib yang nyata. Maklum, sebelum pindah ke sekolah ini saya biasa ranking 1-3 di kelas, walau tanpa giat belajar sekalipun.
Ponten 1 itu menyadarkan saya tentang arti nilai ujian, arti kompetisi, bahwa di atas langit masih ada langit, dan gak boleh sombong dengan apa yang sudah diraih selama ini. Serius, saya baru punya keinginan untuk dapat ranking 10 besar itu pas SD kelas 6, dan salah satunya ialah akibat kejadian ini. Sebelumnya saya mah gak mikir apa-apa, sekolah ya sekolah weeh, yang penting merhatiin guru pas ngajar di kelas, tiba-tiba dapat nilai bagus dan ranking 1. Lalu orang tua bangga karena itu (walau mereka gak pernah menuntut anaknya untuk dapat ranking) and I didn't understand why.
Akibat kejadian itu, saya dendam. Dendam pada aksara Jawa, yang untungnya saya salurkan dengan merengek pada ibu agar dibelikan buku Sari-sari Basa Jawi Pepak yang dengan bangga masih saya simpan sampai sekarang. Saya langsung pelajari halaman yang memuat tentang aksara Jawa, saya hafalkan include pasangan dan sandhangannya semampu yang saya bisa. Hasilnya? Di ujian berikutnya, tanpa sang guru memajang aksara di depan kelas, alhamdulillah saya bisa menjawab soal aksara yang diberikan. Sampai SMP pun, setiap ada ujian bahasa Jawa, soal aksara selalu saya kerjakan lebih dulu. Karena justru aksara Jawa itu yang jawabannya bisa saya jamin benar, dibanding mengerjakan soal lain yang maksud soalnya pun masih saya terawang arti kalimatnya.
Buku Sari-sari Basa Jawi Pepak. Sumber: dokumentasi pribadi. |
Sampai sekarang saya masih bisa membaca aksara Jawa, walau gak secepat zaman SMP dulu. Kadang kalau tiba-tiba teringat ujian bahasa Jawa saya yang pertama kali itu, saya suka nyengir sendiri. Bawaannya pengen guling-guling di aspal, terus nyebur kolam (I'm still sane, thanks). Thank you so much Qorry, you're my hero. Terima kasih juga kepada pak Sasongko, guru bahasa Jawa waktu itu, atas shock therapy-nya yang mendadak ngasih ulangan aksara Jawa, sampai saya seniat ini buat ngafalin hanacaraka.
Kalau diingat-ingat, ada aja kejadian lucu yang bikin geleng-geleng kepala, kadang bikin malu pas zaman baru pindah sekolah itu. Soalnya, kalo dipikir-pikir rasanya memang ada perbedaan kultur antara anak SD di Plaju dan Cilacap saat itu. Apa aja sih bedanya? Mungkin dibahas di postingan selanjutnya yak, sekarang ane mau nostalgia baca-baca buku Pepak dulu.hahha.. Cheers!
Baca ceritanya jadi ketawa sendiri saya nit, kayanya ga cuma nita aja deh yang ngalamin hal kaya gini hahahaa...masalahnya saya juga....
ReplyDeleteberarti sekarang bisa aksara jawa sama aksara sunda yah nita :D
I know riiight, pasti bukan cuma aku anak pindahan yg ngerasa begini.haha..
Deleteaksara sunda aku gak bisa jef, soalnya pas SMA cuma pas kls 1 aja ada pelajaran bhs Sundanya..
Pak pur mba. Haha
ReplyDeleteiyaaaa, mostly terbantu bedain antara e dengan รจ itu pas diajar pak Pur. Dulu seingetku semester 1 pak Sas, terus berikutnya ganti pak Pur.
Delete