Gak terasa blog ini begitu lama terbengkalai. Lama terbengkalai yang dimaksud ialah ketika kamu tiba-tiba sudah ditanyai tentang thesis oleh dosbing, padahal update terakhir di blog ini masih bahas wisuda S1. Yeah, that long. Tapi artikel satu ini bukan bahas thesis yang masih belum jelas, melainkan peristiwa yang terjadi waktu jaman masih penelitian S1 dulu.
Ada satu insiden yang masih membekas jelas di ingatan saya, yang hanya diketahui oleh orang terdekat dan saksi mata saat itu. Bahkan laboran dan mahasiswa yang menggunakan lab pun nampaknya gak ngeh dengan kejadian ini: saya nyaris membumi-hanguskan laboratorium. Serius. Brace yourself, this is a short story with a loooooong backstory.
Hari itu ialah hari yang suuuper melelahkan, hari pertama eksekusi rancangan penelitian. Kehebohan sudah terasa sejak subuh. Saya dibantu kakak mengangkut dua plastik besar oksigen, berisi kurang lebih 100 ekor ikan nila merah hidup ukuran konsumsi dari Desa Petir, Dramaga, menuju kampus. Btw sebelum cerita terlalu jauh, to make it easier for you to imagine, inti skripsi saya adalah penggunaan nano kitosan untuk memperpanjang masa simpan nila merah. Apa itu nano kitosan? Singkatnya bisa baca di SINI or maybe next time.
Oke lanjut.
Hari itu ialah hari yang suuuper melelahkan, hari pertama eksekusi rancangan penelitian. Kehebohan sudah terasa sejak subuh. Saya dibantu kakak mengangkut dua plastik besar oksigen, berisi kurang lebih 100 ekor ikan nila merah hidup ukuran konsumsi dari Desa Petir, Dramaga, menuju kampus. Btw sebelum cerita terlalu jauh, to make it easier for you to imagine, inti skripsi saya adalah penggunaan nano kitosan untuk memperpanjang masa simpan nila merah. Apa itu nano kitosan? Singkatnya bisa baca di SINI or maybe next time.
Oke lanjut.
Kami sampai di kampus saat jam-jam dosen mulai berdatangan. Saya ingat sempat papasan sama Pak Sugeng pas nyeret-nyeret plastik isi ikan menuju ke lab, terus beliau cegat: "Mau diapain ikannya?" "Di-fillet skinless pak." "Kalo sudah kulitnya buat saya ya, buat bikin gelatin." "Insya Allah Pak."
Pada akhirnya karena kondisi kurang memungkinkan, rendemen sisa fillet dibawa bli Darya ke kompleks kontrakannya buat ngasi makan kucing. Punten pisan Pak, it's easier that way.. :(
Pada akhirnya karena kondisi kurang memungkinkan, rendemen sisa fillet dibawa bli Darya ke kompleks kontrakannya buat ngasi makan kucing. Punten pisan Pak, it's easier that way.. :(
Sesampainya di lab, kakakku pamit (mau ke luar kota), sementara saya masih perlu nyiapin segala tetek bengek demi memastikan si kitosan beneran nano (perlu ke Departemen Fisika buat uji PSA, dsb.), dan cemacem keperluan buat fillet nanti. Thank God, at that hectic time, teman seperjuangan mulai berdatangan -bahkan si Aphe dateng khusus dari Jakarta- buat bantu-bantu. Akhirnya, kita baru bisa mulai nge-fillet sekitar jam 12 siang.
Pem-fillet-an ikan @ Lab. Preparasi Bahan Baku. Tolong megang pisaunya biasa aja mbak. |
Kacaunya, nge-fillet ikan 100 biji jelas gak segampang gladi resiknya yang cuma 5 ekor. Segini udah beruntung banget ada Imam, Aphe, Sari, Rasta, Budi (thank youuuu guys) yang membantu. Otherwise, percobaan hari itu bisa dipastikan gagal total. Sesi nge-fillet itu baru beres maghrib, padahal masih ada tahapan lain: uji TPC dan TVB. Dua uji ini perlu inkubasi minimal 1 hari. Jadi, demi keabsahan hasil uji, ikan yang telah di-fillet harus segera disiapkan untuk uji tersebut. Karena penelitian ini mengukur masa simpan ikan, maka dua uji ini perlu diulang tiap 2 hari sekali sampai ikan melewati standar batas keamanan pangan.
Anyway, malam menjelang... dan teman yang tinggal di Jakarta dan Bogor kota mulai balik ke rumah masing-masing. Manusia di lab tinggal Fifiq (yang dateng pas sore buat bantu TPC), Imam (standby dari pagi, plus bersedia bantu TVB), dan Sari (bantu nyemangatin dan bersih-bersih). Jeda antara proses fillet dengan eksekusi TPC TVB lumayan lama, karena setelah aplikasi nanokitosan kita masih perlu membungkus fillet satu demi satu untuk kontinuitas pengujian selama ± dua minggu. Parahnya lagi, laboratorium Persiapan Bahan Baku (PBB) ini beda lantai dengan laboratorium Mikrobiologi HasPer tempat pengujian TPC. Alhasil kita banyak buang waktu buat bersihin lab PBB dan mindahin barang ke lab bawah.
Penghitungan TPC, sehari setelah masa inkubasi |
Haji Fachri membantu persiapan uji TPC, sehari sebelum penuangan |
Eksekusi penuangan agar untuk TPC (metode cawan tuang) baru dilakukan jam 10 malam, paralel dengan TVB. Ada 4 treatment (perlakuan) yang diberikan, masing-masing 2 ulangan, duplo pula, sehingga total cawan petri yang dituang adalah... 80 cawan (1 perlakuan = 20 cawan). Jangan lupa kita melakukan itu semua harus dalam keadaan steril. Bolak-balik ngelap meja kerja pake alkohol, isi ulang bunsen, sehingga untuk menyelesaikan 1 perlakuan butuh waktu ± 45 menit. Now, can you feel it? This meant to be a disaster.
Waktu menunjukkan pukul setengah 3 dini hari.
Sari udah tepar di meja laboran, Fifiq baru mau merem setelah bantu beresin 1 perlakuan, Imam sibuk bantu ngerjain TVB gak jauh dari situ, dan saya ngerjain TPC di tempat terpisah: ruang steril.
Pukul 4 pagi.
"All right, focus. Tiga cawan lagi untuk perlakuan 3 ini, terus lanjut ke perlakuan terakhir, tinggal 20 cawan. Bisa, bisa, bisa." Itu yang ada di pikiran saya ketika tiba-tiba bunsen di laminar air flow cabinet padam. Uggh, terpaksa berhenti bentar dah. Saya keluarkan bunsen dari cabinet, isi ulang spiritus ke bunsen, nyalakan. Sayangnya, saya gak sadar si spiritus itu mengalir di permukaan kaca bunsen. And FYI, to keep everything sterile, saya pakai sensi gloves yang disemprot alkohol setiap mulai sesi.
Jadi, adalah suatu keniscayaan ketika bunsen tersebut dinyalakan, api turut menjalar ke permukaan bunsen yang saya pegang, lalu menyambar ke glove di tangan saya yang baru terpapar alkohol. Beeeuh, can you imagine buk ibuk.. Kaget karena api yang menyambar di tangan, bunsen terlepas dari tangan saya ke meja kerja, spiritus dari bunsen tumpah ke meja, lalu api menyambar cepat ke tissue, ke logbook, ke tulisan peringatan yang ditempel di meja, ke mana-mana. Singkat kata, I set fire to the lab.
Untungnya, meja kerja itu terbuat dari batu. Dengan kalem-kalem panik, saya timpuk api di meja dengan buku hard cover dalam usaha untuk memadamkan api. Mungkin karena overwhelmed dengan situasi itu, alih-alih teriak manggil Imam (cuma doi yang masih melek), yang keluar dari mulut saya cuma "Mam.. Imam.." sepelan orang belum makan 3 hari. Untung doi dengar. Begitu Imam masuk, yang pertama dia lakukan adalah mencerna apa yang terjadi.
Bayangin aja kamu dipanggil 'santai' oleh temanmu, only to find her sibuk madamin api yang udah menjalar se-meja kerja. Dengan heroik, Imam melempar tissue yang terbakar ke luar ruang steril, menginjaknya sampai padam, balik masuk, bantu nimpuk meja pake buku. Fifiq dan Sari akhirnya bangun gara-gara aksi pemadaman tissue yang dilakukan Imam. Fifiq langsung panik nanya "ada apa?", sementara Sari yang masih setengah sadar cuma bisa menatap nanar.
Begitu api di ruang steril padam, I came back to my senses, dan baru sadar jari tangan kananku melepuh. Cucok. Akhirnya sepanjang sisa subuh itu saya cuma bisa merendam tangan dalam air, megangin es yang sejatinya dipakai untuk menjaga temperatur ikan, sambil meringis. TPC dilanjutkan oleh Fifiq (thank you so much Fiiiq), TVB at this point bener-bener dikerjakan oleh Imam (my very special thanks to you Mam), dan Sari secara tidak langsung menghilangkan bukti kejadian dengan bersih-bersih lab (matur nuwun mbakyu).
When the night falls @Lab. Mikrobiologi Hasil Perairan |
Matahari mulai tampak di langit timur. Uji TPC dan TVB beres dieksekusi, tinggal menunggu inkubasi selama 1 hari. Kami bergegas merapikan laboratorium, mengecek semua kelengkapan, dan ajaibnya, dari semua barang yang ada di ruang steril, cuma tempelan peringatan dan tata cara pemakaian timbangan yang terbakar habis. Sisanya utuh, tidak ada tanda-tanda telah terjadi kebakaran kecil di sana. Cuma buku catatan saya yang cedera parah sebagai saksi bisu peristiwa dini hari itu. What a crazy dawn.
Pukul 06.30 pagi. Kami mematikan lampu lab, mengunci pintunya, lalu meninggalkan kampus, as if nothing happens.
Saat saya kembali ke lab untuk penghitungan TPC dan TVB di hari berikutnya, gak ada seorang pun yang menyadari kejadian kemarin. At least, gak ada yang menanyakan sesuatu selain nanyain kunci lab yang saya pinjam.
So the research continues. Saya masih sering pinjam kunci lab buat begadang ngerjain TPC dan TVB sampai jam 2 pagi hingga penelitian usai, tapi gak ada yang ngalahin kejadian hari itu. No! Jangan sampe deh.
*Notes:
Buat kamu yang penasaran dengan hasil penelitian ini, bisa cek di mari. IPB terlalu bermurah hati mem-publish penelitian mahasiswanya dari judul sampe bibit bebet.
*Notes:
Buat kamu yang penasaran dengan hasil penelitian ini, bisa cek di mari. IPB terlalu bermurah hati mem-publish penelitian mahasiswanya dari judul sampe bibit bebet.
Lol. Entah kenapa di bagian "I set fire to the lab" gue baca pake nada adelle. 😂
ReplyDelete