Skip to main content

Mendadak Jawa (2) - Menghafal Aksara

Pada artikel yang lalu, saya sudah menceritakan gimana kalutnya saya waktu pindah dari Palembang ke Cilacap. Penggunaan bahasa yang terasa asing itu gak ada apa-apanya dibanding ingatan saya yang satu ini, tentang ujian (lebih tepatnya ulangan harian) bahasa Jawa pertama saya sebagai siswi SD di Cilacap.

Saya gak tau pelajaran bahasa Jawa itu diajarkan sejak kelas berapa, yang pasti murid SD kelas 6 diharapkan sudah mengerti bahwa bahasa Jawa memiliki huruf tersendiri yang disebut aksara Jawa, dan mereka dituntut sudah paham cara menggunakannya. Jadi, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba saya berada di kelas untuk ulangan bahasa Jawa, tentang aksara Jawa (hanacaraka) pula! Murid-murid diberi soal untuk mengubah 10 kalimat dalam huruf latin menjadi tulisan dalam aksara Jawa.
Aksara Jawa. Sumber: mascholik.files.wordpress.com

Sebagai satu-satunya murid baru di kelas yang jumlah muridnya jadi ganjil, saya duduk sendirian, di pojok belakang kelas. Padahal, saat itu penglihatan saya mulai bermasalah (belakangan pas SMP baru diketahui bahwa saya menderita mata minus -langsung -2.5 cuy-). Pada ujian hari itu, sang guru masih berbaik hati memajang aksara hanacaraka di papan tulis, mungkin salah satu alasannya karena kasihan sama si anak baru yang gegar budaya ini (baca: saya *ngacung*). Namun, apa daya, dasar penglihatan saya yang udah rabun, aksara di depan itu gak ngefek sama sekali bagi saya.

Menit demi menit berlalu, dan gak satupun aksara saya tulis di lembar jawaban. Kalaupun saya berhasil baca aksara di papan tulis depan itu, saya toh gak ngerti cara penggunaannya. Sampai akhirnya di menit-menit terakhir jelang waktu ulangan berakhir, saya putuskan untuk nego sama teman yang duduk di depan saya.
"Qorry, Qorry..", panggilku sambil mencolek teman yang duduk di depanku.
 "Aku gak ngertiii.. Bagi jawaban satuuuu aja", bisikku memohon.
Mungkin karena iba melihat kertas ulangan saya yang bersih bening seperti tanpa noda (isinya cuma nama, sama kelas.. *bhah*), dengan baik hati Qorry menunjukkan jawaban di kertas ulangan miliknya. Bukan cuma satu jawaban, malah satu lembar kertas jawaban miliknya dia tunjukkan. Tapi berhubung saya teman yang tahu diri (selain karena gak sempat -waktu mepet cuy-) saya hanya menyalin satu jawaban saja.

Pfft.. jadilah hari itu tercatat sebagai tonggak sejarah kegagalan saya sebagai siswa SD anti-nyontek dengan nilai gak pernah kurang dari 6 (skala 0-10), menjadi siswa SD pencontek dengan nilai terendah: 1. Seumur hidup saya, dari lahir sampai kelas 6 SD, ponten 1 itu benar-benar aib yang nyata. Maklum, sebelum pindah ke sekolah ini saya biasa ranking 1-3 di kelas, walau tanpa giat belajar sekalipun.

Ponten 1 itu menyadarkan saya tentang arti nilai ujian, arti kompetisi, bahwa di atas langit masih ada langit, dan gak boleh sombong dengan apa yang sudah diraih selama ini. Serius, saya baru punya keinginan untuk dapat ranking 10 besar itu pas SD kelas 6, dan salah satunya ialah akibat kejadian ini. Sebelumnya saya mah gak mikir apa-apa, sekolah ya sekolah weeh, yang penting merhatiin guru pas ngajar di kelas, tiba-tiba dapat nilai bagus dan ranking 1. Lalu orang tua bangga karena itu (walau mereka gak pernah menuntut anaknya untuk dapat ranking) and I didn't understand why.

Akibat kejadian itu, saya dendam. Dendam pada aksara Jawa, yang untungnya saya salurkan dengan merengek pada ibu agar dibelikan buku Sari-sari Basa Jawi Pepak yang dengan bangga masih saya simpan sampai sekarang. Saya langsung pelajari halaman yang memuat tentang aksara Jawa, saya hafalkan include pasangan dan sandhangannya semampu yang saya bisa. Hasilnya? Di ujian berikutnya, tanpa sang guru memajang aksara di depan kelas, alhamdulillah saya bisa menjawab soal aksara yang diberikan. Sampai SMP pun, setiap ada ujian bahasa Jawa, soal aksara selalu saya kerjakan lebih dulu. Karena justru aksara Jawa itu yang jawabannya bisa saya jamin benar, dibanding mengerjakan soal lain yang maksud soalnya pun masih saya terawang arti kalimatnya.
Buku Sari-sari Basa Jawi Pepak. Sumber: dokumentasi pribadi.
Sampai sekarang saya masih bisa membaca aksara Jawa, walau gak secepat zaman SMP dulu. Kadang kalau tiba-tiba teringat ujian bahasa Jawa saya yang pertama kali itu, saya suka nyengir sendiri. Bawaannya pengen guling-guling di aspal, terus nyebur kolam (I'm still sane, thanks). Thank you so much Qorry, you're my hero. Terima kasih juga kepada pak Sasongko, guru bahasa Jawa waktu itu, atas shock therapy-nya yang mendadak ngasih ulangan aksara Jawa, sampai saya seniat ini buat ngafalin hanacaraka.

Kalau diingat-ingat, ada aja kejadian lucu yang bikin geleng-geleng kepala, kadang bikin malu pas zaman baru pindah sekolah itu. Soalnya, kalo dipikir-pikir rasanya memang ada perbedaan kultur antara anak SD di Plaju dan Cilacap saat itu. Apa aja sih bedanya? Mungkin dibahas di postingan selanjutnya yak, sekarang ane mau nostalgia baca-baca buku Pepak dulu.hahha.. Cheers!

Comments

  1. Baca ceritanya jadi ketawa sendiri saya nit, kayanya ga cuma nita aja deh yang ngalamin hal kaya gini hahahaa...masalahnya saya juga....
    berarti sekarang bisa aksara jawa sama aksara sunda yah nita :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. I know riiight, pasti bukan cuma aku anak pindahan yg ngerasa begini.haha..
      aksara sunda aku gak bisa jef, soalnya pas SMA cuma pas kls 1 aja ada pelajaran bhs Sundanya..

      Delete
  2. Replies
    1. iyaaaa, mostly terbantu bedain antara e dengan รจ itu pas diajar pak Pur. Dulu seingetku semester 1 pak Sas, terus berikutnya ganti pak Pur.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lagu India yang Disadur Menjadi Lagu Dangdut

Contek-menyontek udah gak asing lagi di Indonesia, mulai dari bangku sekolah sampai ke tingkat perfilman, ranah permusikan, dan entah apa lagi. Bahkan, musik dangdut yang didefinisikan sebagai " a music of my country" pun gak luput dari praktek ini. Sudah begitu, nyontek dari negara lain pula. Stadium paling parah dari kegiatan contek-menyontek ini -dan sepatutnya dihindari- adalah plagiarisme. Dalam artikel yang dibahas kali ini, saya gak menggunakan istilah plagiat untuk mendefinisikan lagu-lagu dalam daftar yang akan saya jabarkan, melainkan saduran. Soalnya, beberapa lagu merupakan hasil saduran dan kerjasama, meskipun beberapa lainnya kemungkinan besar memang plagiat. Untuk meyakinkan diri "yang mana" menyadur "yang mana", saya usahakan untuk menyertakan tahun rilis masing-masing lagu.   So , berikut beberapa lagu India yang disadur menjadi lagu dangdut, dari yang terang-terangan sampai yang gak disangka-sangka. Biar lebih seru, coba dengar lag

Jingle Iklan Ikonik di Indonesia

Gak terasa bertemu lagi dengan akhir pekan di minggu kedua bulan Juni. Sabtu yang cerah gini enaknya dipakai jalan-jalan sama teman, leyeh-leyeh santai di kamar sambil baca buku, atau hiburan yang paling monoton: nonton TV. Tapi sebenarnya apa sih yang kamu tonton? Kadang nonton TV tuh kayak nonton iklan diselingi acara TV, bukan acara TV yang diselingi iklan. But somehow , semalas apa pun kamu sama pariwara yang berseliweran di televisi, mau gak mau kadang tetap kamu tonton juga. Ngaku deh. Apalagi iklan yang muncul di sekitar jam tayang acara favoritmu. Kalo lagi males ganti channel ya terpaksa dipantengin juga, terutama kalo acara TV lain yang tayang saat itu yang model begini . Akibatnya, dari sekian banyak iklan tersebut ada aja iklan yang nempel di kepala, entah karena tagline nya, plot nya, atau jingle nya. Gak percaya?  Coba baca kalimat di bawah ini tanpa menyanyikannya: "Kabar gembira untuk kita semua, kulit manggis kini ada ekstraknya"   Iklan produk te

[Lagu Daerah] Pempek Lenjer -Kord Lirik Arti-

Suatu hari di kantin, saya disapa teman saya yang orang Bengkulu. Walaupun saya orang Palembang, tapi karena akar bahasa sama-sama Melayu, maka tak menghalangi kami menggunakan bahasa daerah. Setelah dia berlalu, teman duduk saya yang rata-rata orang Jakarta dan Bogor langsung menimpali: " Roaming cuy , tadi ngobrol apa deh? Ajarin doooong". Terlepas dari respon saya yang hanya cengengesan serta perkataan dia saat itu yang kemungkinan 80% basa-basi dan 20% penasaran, saya jadi kepikiran: "Why not?" Bahasa Palembang itu cukup mudah bagi penutur bahasa Indonesia. Ganti saja huruf belakang kata Indonesia dengan huruf "o", sisanya yah.. memang kadang bahasa Palembang rada *nyemelo . Mengartikan bahasa Palembang ke bahasa Indonesia jadi gampang-gampang susah akibat kata-kata nyemelo itu. Saya percaya, salah satu cara paling ampuh dalam mempelajari bahasa asing ialah dengan sering mendengar lagu bahasa tersebut. Tidak terkecuali untuk bahasa daerah.